(Setelah) 1965*


“Sudah semestinya sejarah digunakan sebagai alat pembebasan. Berfungsi sebagai kritik sosial, sejarah bukan lagi jadi medium penindasan”-Asvi Warman Adam 

Oleh Satriono Priyo Utomo** 

Kalau boleh berterus terang dan memang harus dikatakan. Tanah yang hari ini kita pijak adalah endapan atas lumuran darah. Dari korban atas penindasan kaum kolonial Belanda, tidak sedikit kaum pribumi yang mati. Entah atas tanam paksa yang mengakibatkan mereka miskin, maupun atas kerja rodi yang membuat mereka mati karena lapar. 

Darah itu mengalir. Sampai pada 1945 adalah sebuah usaha tidak hanya untuk mengakhiri jatuhnya korban. Tetapi juga pembuktian kemerdekaan. Dengan syarat bahwa kolonialisme harus dihentikan dan kemanusiaan harus ditegakkan. Begitu bunyi proklamasi kita. 

Tetapi, Oktober 1965, Indonesia kembali berlumuran darah. Manusia tidak berdosa, tanpa perlawanan dibunuh semena-mena. Mayat-mayat terhampar, berhanyutan di Bengawan Solo, Musi, Asahan dan sungai-sungai yang sesungguhnya mau menjelaskan mengapa airnya berwarna merah. 

Bertebaran kuburan tanpa nisan. Terjadi pembantaian manusia yang tak ada taranya dalam sejarah Indonesia, bahkan dalam sejarah dunia. Sampai salah seorang warga Amerika Serikat yang masih mempunyai kerabat dengan presiden negara tersebut menuntut pemerintahannya. 

Yaitu, Robert Kennedy yang menyesali kebisuan ini ketika mengucapkan pidatonya di New York City pada Januari 1966: Kita telah bersuara lantang terhadap pembantaian tak manusiawi yang dilakukan oleh kaum nazi dan kaum komunis. Tapi apakah kita akan bersuara lantang pula terhadap pembantaian keji di Indonesia, lebih dari 100.000 orang yang dituduh komunis bukan pelaku tetapi korban. Jawaban terhadap pertanyaan itu, tentu saja, tidak. Bagaimanapun pemerintah AS telah membantu Suharto naik tahta. Kegembiraan akan penggulingan Sukarno dan penghancuran PKI mengalahkan pertimbangan kemanusiaan apa pun. 

Begitulah, dengan peristiwa yang terjadi sepanjang malam menuju pagi 1 Oktober 1965, di Indonesia terjadi pembunuhan enam jenderal pucuk pimpinan Angkatan Darat dan seorang perwira menengah. Dan peristiwa ini disusul oleh penangkapan pemenjaraan besar-besaran tanpa melalui pengadilan. Berlangsung pembantaian manusia, pembasmian kaum 'kiri', pelarangan Partai Komunisme Indonesia, pelarangan penyebaran Marxisme-Leninsme di seluruh Indonesia. Persitiwa yang bermuara pada penggulingan Sukarno yang kemudian merubah Indonesia dari pemimpin perjuangan melawan imperialisme menjadi negeri yang mengekor pada kekuatan asing, terutama Amerika Serikat. 

Rex Mortimer menulis: Banyak orang Barat kala itu justru melihat pembunuhan massal tersebut dengan penuh rasa puas dan kelegaan sebagai penghilangan sepenuhnya ancaman dan hambatan bagi kepentingan mereka, sementara kalangan lain melihatnya sebagai pemecahan bagi jalan buntu politik tak terelakan yang disesali dan memalukan, namun masih dimaklumi. Pembunuhan ratusan ribu manusia yang kebanyakan tidak mengerti mengapa mereka harus dibunuh itu tidak banyak menarik perhatian, apalagi menggugat peri kemanusiaan kita dibandingkan dengan peristiwa-peritiwa lain di belahan dunia, yang sebenarnya dalam dimensi maupun skalanya jauh lebih kecil. 

Jumlah tepat mereka yang terbunuh tak akan pernah bisa diketahui. Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat menaksir di tahun 1966, jumlah terbunuh sekitar 300.000. Pada bulan Oktober 1976, Laksamana Sudomo, Kepala Kopkamtib, menyatakan dalam wawancaranya kepada wartawan Belanda, bahwa lebih dari 500.000 terbunuh. Sarwo Edhie Wibowo yang mengomandoi pengerahan pasukan baret merah Kostrad mengakui bahwa dalam peristiwa itu telah terbunuh sebanyak tiga juta manusia. 

*** 
Setelah 1965, banyak orang enngan untuk berbicara ataupun sekadar mengenang. Ingatan masyarakat tersandera dalam trauma panjang. Puluhan tahun juga, ketakutan justru berubah menjadi lahan subur tumbuhnya kultur kebisuan. 

Itu bahkan menular dan menurun pada sekian generasi. Banyak orang memilih diam untuk tidak lagi beresiko menyentuh dan mengorek-orek ingatan masa lalu. Dalam puluhan tahun, kultur kebisuan begitu kokohnya bertahan. Banyak kecemasan atas keberulangan sejarah berhasil menutup nalar keberanian untuk menengok sejarah lebih jujur dan objektif.

Setelah 1965, kuasa negara mendapat lahan basahnya. Ia melenggang menjadi tafsir utama yang harus diamini. Entah melalui film yang diputar setiap tahunnya, maupun dalam buku wajib sejarah pelajar di sekolah tingkat dasar sampai menengah. Kesemuannya dijadikan kontrol atas ingatan. Demikianlah, tahun demi tahun, ketakutan bermetamorfosis menjadi kepatuhan. 

Tragedi 1965-1966 dan episode setelahnya adalah sebagian kasus tentang kurun waktu sejarah yang paling kabur, gelap dan menjadi awal berkuasanya ‘orde’ yang kontroversial. Tahun dengan fenomena perubahan kebijakan yang sangat mencengangkan. Tahun-tahun penuh “harapan” bagi sebagian masyarakat dan sekaligus menyimpan ‘kekecewaan’ dari sebagian yang lain. 

Awal dari sistem politik yang menghamparkan “kemenangan” dan sekaligus “kekalahan”. Musim semi politik bagi Indonesia yang menyeret kisah paling dramatis. Kurun waktu yang menjadi titik pembalikan sejarah politik Indonesia sekaligus merupakan rentan sejarah dengan tumpukan jutaan korban. 

Kemenangan sebuah rezim yang melahirkan berbagai dikotomi biner tentang ‘yang suci’ dan ‘yang biadab’, tentang ‘yang terpuji’ dan ‘yang terkutuk’ dan tentang ‘yang berhak’ dan tak pantas’ hidup dalam bumi nusantara ini. Sebuah rezim dengan sekian nalar prasangka yang membelah keragaman, persaudaraan, dan kultur saling menghargai walaupun terselimuti dengan jargon kesatuan dan integrasi bangsa. 
_____________________ 

* Pengantar Diskusi Film Senyap di STMI, Jakarta pada Jumat 9 Januari 2015. Mulanya catatan ini akan disampaikan di STISIP, Pendeglang, Banten pada Sabtu, 20 Desember 2014. Namun sayang acara tersebut dibatalkan akibat pembatalan sepihak oleh kampus STISIP atas tekanan Polres Pandeglang. 

** Mahasiswa Tingkat Akhir Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta 

Referensi Pustaka: 
Rossa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal. Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Hasta Mitra 
Simpson, R Bradley. 2010. Economists with Guns. Amerika Serikat, CIA dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru. Jakarta: Pustaka Gramedia 
Sulistyo, Hermawan. 2011. Palu Arit Di Ladang Tebu. Sejarah Pembantaian Massa yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966). Jakarta: Pensil 234 
Mortimer, Rex. 2011. Indonesian Communism Under Sukarno. Ideologi dan Politik 1959-1965. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 
Tornquist, Olle. 2011. Penghancuran PKI. Depok: Komunitas Bambu 

Wikana dan Soal Pemuda

Wikana
“Ia terlahir, dengan kesakitan, sebagai anak zaman, yang melahirkan zaman.” Aidit

Oleh Satriono Priyo Utomo*

Menteng 31, beberapa pemuda berkumpul di bawah pohon jarak. Mendiskusikan soal situasi internasional tahun 1945. Jepang, Jerman, Italia ingin tampil menguasai dunia. Industrialisasi di negara-negara tersebut di dorong untuk satu kalimat: merengkuh kejayaan dunia.

Posisi Indonesia terjepit, Belanda dua kali mengganti wajahnya dari imperialisme ke kolonialisme. Sesungguhnya tidak ada beda, tetap sama menindas. Jepang masuk ke Indonesia dengan slogan bersahabat: Nippon Cahaya Asia, Pelindung Asia, Pemimpin Asia. Tapi sama saja, penduduk pribumi tetap jadi budak di negerinya sendiri.

Hasil diskusi pemuda bersepakat: "Sekarang, Bung! Malam ini juga kita kobarkan revolusi," kata Chaerul Saleh. Mereka pergi ke rumah Sukarno. "Kalau Bung tidak mau mengumumkan proklamasi, besok akan terjadi pertumpahan darah," sambar Wikana. Dengan gaya konservatif, Sukarno menyahut: Ini batang leherku. Seret saya ke pojok itu dan potong malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari!

Para pemuda pulang kembali ke Menteng 31 dengan gelora dan amarah yang dipendam dalam hati. Wikana pulang membonceng Aidit. Keesokan harinya, mereka sepakat untuk membawa Sukarno dan Hatta pergi meninggalkan Jakarta. Guna menyamakan frekuensi untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Adalah Wikana, pemuda asal Sumedang, Jawa Barat yang dalam narasi sejarah kita namanya terpinggirkan dari bagian penting Revolusi Agustus 1945. Bersama Aidit, Wikana membentuk pusat latihan pemuda yang mereka beri nama Asrama Kemerdekaan. Kegiataannya mengadakan kursus-kursus politik pemuda. Pengajarnya ialah Sukarno, Hatta, Amir Syarifudin dan Ki Hajar Dewantara.

Sesungguhnya peran Wikana sangat vital. Dialah yang menghimpun kekuatan pemuda. Mengorganisir pemuda dan menjadikannya organik agar dapat memobilisir rakyat pergi menghadiri rapat-rapat akbar. Tanpanya Sukarno bukanlah apa-apa. Bisa jadi pidatonya tak ubahnya seperti teriakan-teriakan orang kesakitan tanpa pertolongan. Kharisma Sukarno pun hanya jadi lukisan pajangan dinding tanpa ribuan massa di depan podium.

Wikana dan para pemudalah yang mengajak rakyat agar berpartisipasi. Jika situasi hening karna Sukarno telat hadir dalam rapat akbar. Para pemuda ini yang memimpin dan memandu nyanyian-nyanyian agar semangat rakyat tetap terjaga. Dengan begitu usaha mereka seperti ini tidak lebih hanya mempunyai tujuan: agar Revolusi Agustus 1945 tidak hanya menjadi milik elite.

Gagasan Pemuda Wikana

1945, Wikana adalah wakil semangat pemuda. Kegiatannya adalah gambaran pemuda Indonesia pada periode 1920-an. Gambaran akan perjuangan terhadap penindasan dari jiwa-jiwa dan pikiran yang merdeka.

Proklamasi telah dibacakan. Meski kabinet Sjahrir dan Amir memintanya menjadi Menteri Urusan Pemuda dari tahun 1946-1948. Wikana tetap aktif dan setia di barisan massa. Dia memilih PKI sebagai ruang dalam mengorganisir dan mengorganisasi rakyat. Wikana yakin proklamasi hanyalah pintu, jalan menciptakan kemerdekaan, keadilan serta kesejahteraan masih panjang. Dan itu harus ditempuh jika tetap dalam barisan massa.

Biarpun begitu Wikana tetap mau mencurahkan pikiran-pikiran teoritisnya. Analisa-analisanya tertuang beberapa kali dalam jurnal teori marxisme-leninisme Bintang Merah. Dalam jurnal milik PKI ini Wikana menulis Organisasi Massa Pemuda, pada 1950. Wikana mempermasalahkan hubungan antara partai dan organisasi massa pemuda.

Dari tulisannya terlihat betapa sulit memahami istilah “berorganisasi dan berpolitik sebagai partai komunis”. Dia juga mengeritik soal peranan hegemoni dari partai komunis atas gagasan konsep Aidit. Dimana ada keingingan konsepsi partai sebagai organisator gerakan massa dan sebagai wadah untuk mengeneralisasi dan menteorisasi pengalaman politik gerakan itu.

Kepada PKI, Wikana mempertanyakan soal batas pemuda. Dia mempertentangkan konsepsi partai sebagai partai kader berbasis massa sekaligus menjadi partai massa berbasis kader. Tentang organisasi pemuda, Wikana mengajukan konsepsi agar organisasi semacam itu bisa mempunyai peraturan yang sama dengan partai. Wikana berpendapat, “perbedaan antara partai dan organisasi massa pemuda bukan harus diadakan dengan jalan membedakan azas, tujuan dan menyelundupkan tujuan strategi perjuagan”.

Dia mengeritik partai yang berpendapat bahwa jika orang-orang sudah berumur 25-30 tahun harus jangan dibolehkan menjadi anggota organisasi pemuda. Jika banyak anggotanya lebih dari itu, organisasi itu akan kehilangan sifat kepemudaannya. Dan akan menjadi partai kedua.

Dengan tegas Wikana menyangkal bahwa soal usia hanyalah dalih yang terpenting adalah keinginan berjuang. Menurutnya, “jika ia bisa tetap dalam organisasi itu meskipun tidak ada hasrat untuk bekerja di lapangan lain, setidak-tidaknya lebih berfaedah daripada jika ia tidak berbuat apa-apa. Kita rasa, tidak menguntungkan, bahwa golongan simpatiserendendijauhkan dari perjuangan aktif di bagian manapun juga dalam perjuangan kita”.

Biar bagaimanapun tujuan dari organisasi massa adalah pendidikan revolusioner atas anggota-anggota organisasi, dimana yang terbaik akan ditingkatkan menjadi anggota-anggota partai. Wikana menggarisbawahi bahwa jika orang masih mesti dididik maka tempatnya lebih tepat di pergerakan pemuda daripada di partai atau organisasi massa lainnya.

Melalui PKI, Wikana menuntut otonomi organisasi pemuda dari organisasi partai dan kemungkinan bagi organisasi massa pemuda menjadi semacam partai simpatiserendensesuai dengan rumusan “partai massa”. Berdampingan atau bersaing secara bersahabat dengan PKI dengan kedudukan sebagai partai pelopor.

PKI kemudian menjawabnya dengan berpendapat bahwa gerakan pemuda tidak mungkin menjadi kutub berdaya tarik sebagaimana halnya partai itu sendiri, tetapi adalah partai yang harus mewujudkan semangat pemuda, semangat Revolusi Agustus. Suatu organisasi pemuda yang menggunakan azas dan tujuan yang serupa dengan yang digunakan oleh partai komunis, tidak lagi merupakan organisasi massa yang harus lebih umum dan lebih luas dalam tujuannya dan azasnya, dan lebih luwes dalam organisasi dan geraknya, dibandingkan dengan pratai pelopor. Ini supaya bisa berperan sebagai perantara rakyat biasa yang belum terorganisasi sampai ke dalam partai. Terlebih jika kepemudaan tidak ditentukan oleh usia, maka organisasi semacam ini bukan saja menjadi suatu partai politik untuk pemuda melainkan sudah menjadi partai politik baru yang menyaingi partai komunis. Ini berarti menyangsikan, bahkan menolak, fungsi organisator massa dan fungsi pemusatan perjuangan massa yang dilakukan oleh partai pelopor.

Sampai kemudian perdebatan ini harus diakhiri dengan teror brutal setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Wikana hilang setelah segerombolan tentara tak dikenal datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7 A, Matraman, Jakarta Pusat. Sampai hari ini Wikana tak pernah pulang. Dan gagasannya mengenai pemuda tidak pernah mendapat tempat bagi penguasa negara setelah insiden 1965 terjadi. Rezim Suharto justru menciptakan sebuah lembaga bernama: Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga.

Wikana dan Setelahnya

Melalui Suharto kata pemuda telah dilucuti, di delegitimasi atas sejarahnya. Sampai kemudian dibentuk wadah bernama Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai alat kontrol terhadap aspirasi pemuda. Sehingga wadah itu tidak lebih hanya menjadi bagian dari kekuasaan yang di awal kedudukannya sudah memperkosa peri kemanusiaan.

Penyingkiran Wikana pada 1965 sebagai representasi pemuda menolak pembedaan dengan rakyat. Bersamaan dengan itu justru menghasilkan terminologi ‘mahasiswa’.  Dimana sejarah awalnya pada 1966 orientasi atas aspirasi politiknya dikanalkan pada pergantian kekuasaan.

Masa depan Indonesia tidak ada lagi semangat dan gerakan “pemuda”. Suharto menggantinya dengan “mahasiswa” yang kemudian menarik diri dengan rakyat. Sebagai kelas sosial yang berbeda dan sulit diidentifikasi jika tidak memakai kaca mata kekuasaan.

Wikana dan zamannya menaruh kata pemuda bersama rakyat. Dia tidak berada di depan yang memposisikan diri sebagai pengembala yang menginstrusikan rakyat dengan sejumlah agendanya. Juga tidak ada di belakang rakyat dimana pertanggung-jawabannya sulit untuk dilacak jika rakyat berjalan dengan arah yang salah.

Pemuda menurut Wikana ada bersama rakyat. Menyusun pergerakan berdasar apa yang diketahui oleh rakyat. Serta merumuskan perjuangan atas dasar apa yang mereka miliki. Sehingga perjuangan pemuda adalah perjuangan rakyat dan sejarah gerakan pemuda adalah sejarah gerakan rakyat.

Sulit untuk menuntut Wikana kembali. Mungkin yang bisa dilakukan ialah melihat kembali gagasannya.

*Penulis Amatir, Penikmat Kopi di Gedung K Universitas Negeri Jakarta

Sumber Pustaka: Wikana, 1950. Organisasi Massa Pemuda, Bintang Merah 7